Tahun 1942 dunia pendidikan Indonesia menjadi kacau karena adanya penjajahan Jepang yang semena-mena. Di Jakarta khususnya, seluruh sekolah dan tempat-tempat pendidikan telah ditutup oleh Jepang.
Keadaan ini membuat gundah perasaan seorang Ibu Pandoe Soeradhiningrat, atau lebih popular dipanggil dengan ‘Mak Umi’. Perasaannya tersebut ia ungkapkan sendiri secara tertulis dalam Buku Peringatan 10 Tahun Sekolah Rakjat “Tjikini”, 1 Agustus 1952.
“Perasaan kesukaran hati kami, kaum ibu jang memikirkan nasib anak-anaknja tak dapat digambarkan disini, lebih-lebih perasaan kami ketika membatja pengumuman, bahwa sekolah-sekolah diseluruh kota Djakarta harus ditutup. Sudah terang akibatnja anak-anak akan bergelandangan tiap hari didjalan-djalan, dan keadaan demikian ini sungguh menjedihkan kami, sebagai orangtua jang bertanggung djawab atas pendidikan anak-anak”.Kerisauannya diungkapkan kepada beberapa orangtua lainnya. Alhasil, ia mendapat dukungan dan lahirnlah sebuah tempat pendidikan Bahasa Indonesia. Tepatnya kursus Bahasa Indonesia yang dimulai dengan 12 murid dan seorang guru, itulah Ibu Mien Soemadji.
Di sebuah ruang yang diseumbangkan Dr. Rasyid, Ibu Mien sukses mengajarkan Bahasa Indonesia. Hal ini terlihat dari semakin banyaknya murid berdatangan untuk belajar. Karena ruang sudah tidak mampu lagi menampung murid, maka kursus dipindahkan dari Nieuwlaan (Jl. Kramat VII) ke Jl. Kernolong (Jl. Kramat IV). Di tempat baru ini ruangan ditambah menjadi dua kelas tapi pada akhirnya pun tidak mempu menampung murid yang terus bertambah.
Atas dorongan dan inisiatif orangtua murid, kursus dipindahkan lagi ke Jl. Kramat 31 Paviliun dan tanggal 1 Agustus 1942 secara resmi dibentuklah sebuah sekolah partikelir.
Ibu Pandoe Soeradhiningrat menjadi pengurus sekolah. Ia dibantu oleh y. Tengku Thayeb, Ny. Mr. Djojodigoeno, Ny. Ir. Djuanda dan Ny. Abdulkadir.
Ibu Pandoe berniat bahwa sekolah ini selain membantu mengembangkan pendidikan anak-anak di Jakarta sekaligus menolong para guru yang lama menganggur akibat politik penjajahan Jepang.
Pemerintah penjajahan Jepang memilihkan beberapa nama untuk sekolah baru, namun Pengurus menentukan nama MAYUMI yang mempunyai arti Gendewa mulia.
Menurut cerita pewayangan Gendewa yang dimaksud merupakan senjata suci dari tokoh Arjuna, dan sang tokoh ini hanya menggunakan Gendewa untuk melepaskan anak panah dengan maksud dan tujuan baik dan suci saja.
Legenda inilah yang dijadikan filsafah yang oleh para pengurus sekolah. Gendewa yang diibaratkan sebagai Sekolah Mayumi nantinya akan melontarkan anak-anak panah yang menggambarkan para murid. Anak panah dilepaskan untuk kebaikan dan kemajuan Bangsa dan Tanah Air Indonesia.
Keadaan yang serba susah dan serba kekurangan di masa itu tidak mematahkan pengurus, guru dan murid Sekolah Mayumi. Dengan bergotong-royong dan sungguh-sungguh mereka berlomba-lomba mencari dan mengumpulkan buku serta peralatan yang dibutuhkan untuk keperluan belajar dan mengajar. Keadaan seperti telah menjadikan hubungan di antara mereka sangat erat tak ubahnya sebagai sebuah keluarga besar. Keakraban inilah yang selalu terpelihara di kemudian hari. Sikap kekluargaan erat yang dijalin meluas dari karyawan, pengurus yayasan, guru, murid dan sekarang alumnusnya
SEKOLAH RAKYAT CIKINI
Saat kemerdekaan Indonesia diproklamirkan, Sekolah Mayumi kembali kewalahan karena mem’bludak’nya murid-murid yang ingin masuk SR Mayumi. Jumlah murid mencapai 200 an dan dibagi dalam 5 kelas sekolah dasar dan 1 kelas taman kanak-kanak. Dengan berbagai pertimbangan, sekolah kembali ‘boyongan’ ke Jl. Tjikini Raya 76, tepatnya tanggal 1 November 1942.
Kepala sekolah saat itu adalah Ibu Agus Djaja. Ia dibantu oleh 6 orang guru yaitu Pak M Pohan; Pak Mohamad Amin; Pak Jusaki; Nn. Nursyamsu; Nn. Aminah dan Ibu Sukarmini.
Pak Madji bergabung di SR Mayumi bulan Februari 1943, kala itu Pak Pohan adalah Kepala sekolah. Oktober di tahun yang sama, Ibu Pandoe Soeradhiningat terpaksa meninggalkan Jakarta mengikuti suami bertugas ke luar kota. Jabatan Ketua Pengurus diserahkan kepada Ibu Abdoerachman. Pada masa inilah Badan Wakaf Mayumi berganti nama menjadi “Jajasan Perguruan Tjikini” dan dikuatkan dengan akte notaris Mr. R. Suwandi tertanggal 27 September 1952 dan bernomor 37.
Bersama-sama perguruan swasta lainnya, Perguruan Tjikini bertahan menghadapi tekanan Belanda yang berupaya untuk menjajah kembali Indonesia setelah Jepang kalah perang. Namun karena keadaan kian darurat, maka sekolah disitirahatkan sementara pada September 1945 dan dibuka kembali pada 1 Februari 1946.
Keadaan yang serba susah dan tertekan tidak membuat lemah para pengurus maupun para guru. Mereka mempertahankan belajar-mengajar walau apa pun terjadi di sekeliling. Walau sejak Maret 1946 sekolah mendapatkan subsidi dari Pemerintah Nasional di Djakarta, tiba-tiba Oeang Republik Indonesia merosot nilainya. Pengurus Sekolah terpaksa meminta murid-murid membayar sekolah dengan 1,5 liter beras untuk menjamin kehidupan para guru.
Berbagai tekanan dan kekacauan akibat keadaan merupakan ujian bagi seluruh keluarga besar Sekolah Perguruan Tjikini, dan mereka ‘survive’. Pemerintah penjajah Belanda berkali-kali mengajak sekolah untuk bekerja sama dengan mereka, tapi tegas-tegas ditolak oleh pengurus dan pimpinan sekolah yang sejak 1 Agustus 1947 di’nahkodai’ oleh Pak Madji dan Pak Muhamad Amin. Poliklinik sekolah saat itu dipimpin oleh Pak Sanusi yang nota bene adalah seorang juru rawat.
LAHIRNYA SMP TJIKINI
Program pengajaran Sekolah Perguruan Tjikini ternyata membuahkan hasil positif. Hal ini terlihat dari sambutan orangtua murid yang semakin banyak mempercayakan pendidikan anaknya di sini. Jumlah murid setiap tahun ajaran baru mengalami peningkatan. Kondisi ini memotivasi pengurus dan guru untuk menyelenggarakan pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Tapi mungkinkah hal ini bias diwujudkan ?
Motivasi ternyata tidak sekedar menjadi impian semata. Beberapa orang pengurus menjadikan anak mereka sebagai murid pertama. Mereka adalah, M. Arief Nazir (Ipul) dan Widjajanti (Wiwik). Kedua murid ini diajar oleh Pak Madji, Pak Harun, Pak Dim dan Bu Mien.
Keunikan dari berdirinya SMP Perguruan Tjikini ini adalah kelas yang berada di alam terbuka, tepatnya di bawah kerindangan pohon Sawo yang tumbuh di tengah-tengah sekolah saat itu. Ini disebabkan kelas-kelas tambahan yang dibutuhkan masih dalam pembangunan.
Kelas percobaan ini dikenal dengan julukan kelas pohon sawo, yang bila hujan terpaksa mengungsi ke selasar depan kelas-kelas lainnya.
Walau diajar di bawah pohon sawo, Ipul dan Wiwik dikemudian hari berhasil dalam kehidupan dan karier mereka di bidang pendidikan.
Kelas Pohon Sawo membuktikan bahwa Perguruan Tjikini sanggup melaksanakan pendidikan SMP. Satu tahun kemudian, 15 Agustus 1956 secara resmi SMP Perguruan Tjikini diresmikan dan Kepala Sekolahnya adalah Pak Madji.
Kedua murid mendapatkan 16 orang teman baru yang setahun kemudian melengkapkan jenjang pendidikan SMP mereka.
SMP Perguruan Tjikini kemudian berkembang terus dan di awali dengan 6 kelas yang dibagi menjadi 3 kelas pagi dipimpin oleh Pak Budiman dan 3 kelas sore dipimpin oleh Pak Arief.
Peristiwa Cikini
Sekolah Perguruan Tjikini terus merambat maju, peristiwa demi peristiwa dicatat sebagai bagian sejarah perjalanan sekolah nasional tertua kedua setelah Taman Siswa. Salah satu peristiwa besar dikenal sebagai Peristiwa Tjikini yang terjadi pada tahun 1957.
Di hari Sabtu tanggal 30 November 1957 yang cerah itu, Sekolah Perguruan Tjikini sedang merayakan HUT nya yang ke 15. Seluruh keluarga besar Perguruan Tjikini sedang mengadakan bazaar amal untuk mengumpulkan dana pembangunan sekolah. Orangtua murid berdatangan untuk memeriahkan peristiwa ini, salah satunya Presiden Pertama Republik Indonesia yaitu Ir. Soekarno.
Bung Karno datang sebagai salah satu dari orangtua murid, dapat dibayangkan betapa ramainya keadaan saat itu.
Namun ternyata kedatangan Bung Karno dimanfaatkan perusuh yang tidak suka pada pemerintahan yang dipimpinnya. Mereka berupaya membunuh Bung Karno dengan melemparkan granat ke tengah-tengah kerumunan bazaar. Bung Karno dapat diselematkan, tetapi 10 orang termasuk beberapa murid tewas seketika, dan 104 lainnya luka berat.
Peristiwa berdarah ini masuk sebagai catatan kelam sejarah perjalanan Sekolah Perguruan Tjikini, dan diuraikan tersendiri dalam buku ini.
Protes Pembubaran
Tahun 1958 dibukalah jenjang pertama dari Sekolah Menengah Atas (SMA) untuk menampung lulusan SMP Perguruan Tjikini. Jumlah angkatan ini sangat kecil, saking kecilnya membuat hubungan satu sama lainnya sangat erat. Banyak kenakalan kelompok ini yang membuat para guru menjadi begitu marah. Akibatnya, timbul gagasan untuk membubarkan SMA pioneer ini. Apalagi saat itu Pak Madji selaku Kepala Sekolah sedang dalam perawatan serius di rumah sakit karena terkena pecahan granat di paru-paru. Ia dirawat cukup lama.
Gagasan membubarkan SMA diprotes para murid dengan berbagai tingkah laku, salah satunya dengan membuka mur dan baut bangku sekolah.
Akhirnya 1 September 1959, SMA Tjikini secara resmi dibuka, Pak Boediman diangkat sebagai Kepala Bagian SMA untuk semua urusan teknis pelaksanaan. Batalnya pembubaran ini menurut sebagian besar orang patut disyukuri, karena alumni angkatan pertama SMA ini hampir seluruhnya berhasil di masyarakat.
Perjalanan belajar-mengajar di Sekolah Perguruan Tjikini berjalan berbarengan dengan upaya membenahi fasilitas dan kelas-kelas secara bergotong royong. Bahkan suatu ketika para murid diminta untuk membawa Koran bekas dan lima butir batu untuk membantu pembangunan yang sedang berlangsung. Terkadang rumah pengurus terpaksa digunakan untuk mengajar, karena ruang kelas sedang diperbaiki.
SMA Perguruan Tjikini kemudian berkembang menjadi salah satu SMA yang di’perhitung’kan, terutama dalam kreativitas seni dan olahraganya. Karena perkembangan zaman dan kebutuhan, maka sejak 1986, SMA Perguruan Cikini (Percik) dipindahkan ke Jl. Duren Tiga di kawaan Kalibata.
Akademi Teknik Nasional
Tahun 1962 SMA Tjikini mulai menghasilkan lulusan pertamanya, setahun kemudian didirikanlah Akademi Teknik Nasional. Kegiatan belajar para mahasiswanya dilakukan sore hari setelah SMP sore Tjikini selesai. Tadinya, di tahun 1960, ATN sempat menyewa ruang-ruang kelas di Perguruan Tjikini. Kemudian mereka memutuskan untuk bergabung ke dalam naungan Yayasan Perguruan Tjikini.
Lulusan ATN. Para Bachelor of Engineering (BE) lulusan ATN kemudian ditampung di Perguruan Tinggi Teknik Nasional (PTTN) yang kemudian hari berubah menjadi Sekolah Tinggi Teknik Nasional (STTN) dan akhirnya diganti lagi menjadi Institut Sains dan Teknologi Nasional (ISTN) pada tahun 1965.
Ketika peristiwa G 30 S terjadi dan meinmbulkan ketidak puasan rakyat, maka para siswa SMP, SMA dan Mahasiswa STTN tidak pernah absen dalam setiap aksi. Mereka tergabung dalam angkatan 66. tetapi mahasiswa Perguruan Tjikini lebih menekankan aksi mereka di bidang Task Force Tehnic. Misalnya memperbaiki jalan-jalan yang rusak.
Perpustakaan sekolah yang tadinya ditempatkan di masing-masing unit sekolah, dikembangkan menjadi Perpustakaan Sentral pada tahun 1971. Penambahan buku-buku pilihan didapatkan dengan hasil sendiri atau pun bantuan dari berbagai pihak. Beberapa karyawan ditempatkan khusus untuk mengelola perpustakaan ini. Di samping itu erguruan Cikini juga telah memiliki Poliklinik Umum, Poliklinik Gigi dan Biro Psikologi sendiri yang dapat dimanfaatkan oleh siswa-siswa yang membutuhkannya.
Pengembangan proses belajar mengajar dan pembangunan fisik sekolah terus menerus dikembangkan sesuai kebutuhannya. Sementara Yayasan juga tidak hanya mengelola sekolah di Jakarta saja, tapi melebarkan sayapnya dengan pengelolaan sekolah TK, SD dan SMP untuk anak-anak karyawan Kontraktor Bagi Hasil Perminyakan di Balikpapan, Kalimantan. Dalam pelaksanaannya sekolah bekerja sama dengan pihak kontraktor yang bersangkutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar